Jumat, 28 Oktober 2016

Perbedaan Masyarakat Kota Dan Desa


ILMU SOSIAL DASAR

Legionardus Trinitas
UNIVERSITAS GUNADARMA
Ahmad Nasher



PERBEDAAN MASYARAKAT KOTA DAN DESA




Pada mulanya masyarakat kota sebelumnya adalah masyarakat pedesaan, dan pada akhirnya masyarakat pedesaan tersebut terbawa sifat-sifat masyarakat perkotaan, dan melupakan kebiasaan sebagai masyarakat pedesaannya.

Masyarakat Perkotaan
Pengertian masyarakat perkotaan lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Secara umum, masyarakat perkotaan sosialisasinya sudah berkurang dan kepribadiannya beragam. Kurangnya rasa sosialisasi karena masyarakat perkotaan sudah sibuk dengan kepentingannya masing-masing, sedangkan dari kepribadiannya masyarakat perkotaan kebanyakan sedikit stress karena banyaknya target/pencapaian yang harus dicapai dalam jangka waktu tertentu. Pola interaksi masyarakat perkotaan lebih ke motif ekonomi, politik, pendidikan, dan terkadang hierarki dan bersifat vertikal serta individual. Pola solidaritas sosial masyarakat perkotaan terbentuk karena adanya perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat. Walaupun begitu, tidak semua masyarakat perkotaan seperti apa yang dijelaskan di atas.

Masyarakat Pedesaan
Yang dimaksud dengan desa menurut Sutardjo Kartohadikusuma adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan sendiri. Menurut Bintarto desa merupakan perwujudan atau persatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. Sedangkan menurut Paul H. Landis, desa adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa.

Secara umum, masyarakat pedesaan lebih bersosialisasi dengan kepribadian yang sederhana. Masyarakat pedesaan itu lebih bisa bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya, sehingga mereka hampir hafal semua penduduk yang tinggal di desa. Masyarakat pedesaan juga sangat ramah terhadap orang asing yang belum dikenalnya. Untuk kepribadian, masyarakat pedesaan lebih terkesan santai karena kerjanya tidak terlalu berat seperti masyarakat perkotaan. Pola interaksi masyarakat pedesaan adalah dengan prinsip kerukunan dan bersifat horizontal serta mementingkan kebersamaan. Pola solidaritas sosial masyarakat pedesaan timbul karena adanya kesamaan-kesamaan kemasyarakatan.

Karakteristik umum masyarakat pedesaan yaitu masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri dalam hidup bermasyarakat, yang biasa nampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat dicontohkan pada kehidupan masyarakat desa di jawa. Namun dengan adanya perubahan sosial dan kebudayaan serta teknologi dan informasi, sebagian karakteristik tersebut sudah tidak berlaku. Berikut ini ciri-ciri karakteristik masyarakat desa, yang terkait dengan etika dan budaya mereka yang bersifat umum.
  • Sederhana
  • Mudah curiga
  • Menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku didaerahnya
  • Mempunyai sifat kekeluargaan
  • Lugas atau berbicara apa adanya
  • Tertutup dalam hal keuangan mereka
  • Perasaan tidak ada percaya diri terhadap masyarakat kota
  • Menghargai orang lain
  • Demokratis dan religius
  • Jika berjanji, akan selalu diingat

Sedangkan cara beadaptasi mereka sangat sederhana, dengan menjunjung tinggi sikap kekeluargaan dan gotong royong antara sesama, serta yang paling menarik adalah sikap sopan santun yang kerap digunakan masyarakat pedesaan.
Berbeda dengan karakteristik masyarakat perkotaan, masyarakat pedesaan lebih mengutamakan kenyamanan bersama dibanding kenyamanan pribadi atau individu. Masyarakat perkotaan sering disebut sebagai urban community.

Perbedaan masyarakat kota dan masyarakat desa :

  1. Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam, Masyarakat pedesaan berhubungan kuat dengan alam, karena lokasi geografisnya di daerah desa. Penduduk yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan dan hukum alam. Berbeda dengan penduduk yang tinggal di kota yang kehidupannya “bebas” dari realitas alam.
  2. Pekerjaan atau Mata Pencaharian, Pada umumnya mata pencaharian di daerah pedesaan adalah bertani tapi tak sedikit juga yang bermata pencaharian berdagang, sebab beberapa daerah pertanian tidak lepas dari kegiatan usaha.
  3. Ukuran Komunitas, Komunitas pedesaan biasanya lebih kecil dari komunitas perkotaan.
  4. Kepadatan Penduduk, Penduduk desa kepadatannya lebih rendah bila dibandingkan degan kepadatan penduduk kota, kepadatan penduduk suatu komunitas kenaikannya berhubungan degan klasifikasi dari kota itu sendiri.
  5. Homogenitas dan Heterogenitas, Homogenitas atau persamaan ciri-ciri sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat dan perilaku nampak pada masyarakat pedesaan bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Di kota sebaliknya penduduknya heterogen, terdiri dari orang-orang degan macam-macam perilaku dan juga bahasa, penduduk di kota lebih heterogen.
  6. Diferensiasi Sosial, Keadaan heterogen dari penduduk kota berindikasi pentingnya derajat yg tinggi di dlm diferensiasi Sosial.
  7. Pelapisan Sosial, Kelas sosial di dalam masyarakat sering nampak dalam bentuk “piramida terbalik” yaitu kelas-kelas yang tinggi berada pada posisi atas piramida, kelas menengah ada diantara kedua tingkat kelas ekstrem dari masyarakat.


Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu:

  1. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa. Masyarakat kota hanya melakukan kegiatan keagamaan hanya bertempat di rumah peribadatan seperti di masjid, gereja, dan lainnya.
  2. Di kota-kota, kehidupan keluarga sering sukar untuk disatukan, karena perbedaan politik dan agama dan sebagainya.
  3. Jalan pikiran rasional yang dianut oleh masyarkat perkotaan.
  4. Interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan pribadi daripada kepentingan umum.

Hal tersebutlah yang membedakan antara karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan, oleh karena itu, banyak orang-orang dari perkotaan yang pindah ke pedesaan untuk mencari ketenangan, sedangkan sebaliknya, masyarakat pedesaan pergi dari desa untuk ke kota mencari kehidupan dan pekerjaan yang layak untuk kesejahteraan mereka.

Ada beberapa ciri yang mencolok pada masyarakat pedesaan, yaitu :
  1. Kehidupan keagamaan sangat erat dalam diri masyarakat pedesaan
  2. Mempunyai pergaulan hidup yang saling mengenal antara ribuan jiwa
  3. Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi oleh alam seperti : iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan
  4. Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan
  5. Di dalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat
  6. Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencarian, agama, adat istiadat dan sebagainya
  7. Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan

Setelah apa yang sudah dijelaskan di atas, terdapat ciri-ciri yang menjadi dasar perbedaan antara masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. 
Ciri-cirinya adalah sebagai berikut :


  • Jumlah dan kepadatan penduduk
  • Lingkungan hidup
  • Mata pencaharian
  • Corak kehidupan sosial
  • Stratifikasi sosial
  • Mobilitas sosial
  • Pola interaksi sosial
  • Pola solidaritas sosial
  • Kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional

Hasil gambar untuk perbedaan masyarakat kota dan desa

Disamping itu, masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan saling berhubungan. Masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat, bersifat ketergantungan, karena di antara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada desa dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan seperti beras, sayur-mayur, daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi jenis-jenis pekerjaan tertentu dikota, misalnya saja buruh bangunan dalam proyek-proyek perumahan, proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan tukang becak.
http://aghamisme.blogspot.co.id/2012/10/perbedaan-masyarakat-desa-dan-kota.html

kesimpulannya adalah bahwa perbedaan antara masyarakat kota dan desa sangat lah berbebeda jauh karna ekonomi di kota dan desa saja sudah keliatan bahwa masyakat kota lebih maju di bandingkan desa.

Senin, 24 Oktober 2016

Pola Futsal Dan Sejarah Futsal

Olahraga futsal pertama kali dimainkan di Uruguay pada tahun 1930, mulanya futsal hanya berkembang pesat di benua Amerika dan Eropa saja. Namun, mudahnya bermain futsal membuat perkembangan olahraga ini cepat diterima masyarakat di dunia. Memasuki tahun 2000-an, futsal mulai berkembang di Indonesia. Meski olahraga futsal hampir sama dengan sepakbola, namun perbedaan jumlah pemain dan ukuran lapangan membuat formasi yang digunakan futsal berbeda dengan sepakbola.
Formasi merupakan cara terpenting yang selalu digunakan tim – tim olahraga dalam menjalankan pertandingan. Dengan adanya formasi maka permainan akan terlihat lebih berpola baik dalam melakukan penyerangan maupun pertahanan. Dalam artikel ini kami akan membahas mengenai berbagai macam formasi dan strategi yang kerap digunakan dalam permainan futsal.
FORMASI DAN STRATEGI FUTSAL MODERN
  • Formasi 2-0-2 (Square)
Formasi yang diisi dua pemain belakang dan dua pemain depan ini digunakan untuk menciptakan keseimbangan dalam pertandingan. Formasi ini baik digunakan dalam situasi apapun. Dengan formasi ini keseimbangan dalam melakukan penyerang dan pertahanan akan berjalan dengan cepat.
  • Formasi 3-0-1 (The Wall)
Formasi ini merupakan cara bertahan penuh yang digunakan suatu tim. Dalam formasi ini terdiri dari tiga pemain bertahan dan satu pemain penyerang. Bisanya formasi ini digunakan suatu tim pada menit – menit akhir pertandingan dalam kondisi menang tipis. Sementara satu pemain penyerang hanya bertugas untuk merebut bola dipertahan lawan dan melakukan serangan sendiri.
  • Formasi 2-1-1 (The Counter)
Hampir semua pelatih futsal sering menggunakan formasi ini. Formasi dengan dua pemain bertahan dan satu pemain tengah serta satu pemain depan ini dianggap lebih efisien dalam melakukan pertahanan dengan mengandalkan serangan balik. Kunci sukses dari formasi ini terletak pada pemain tengah yang mengatur alur jalannya bola dari bertahan ke menyerang. Namun, formasi ini juga harus didukung oleh kecepatan dari para pemain dalam melakukan serangan balik.
  • Formasi 1-1-2 (The “Y)
Formasi ini biasa digunakan dalam melakukan penyerangan atau untuk menciptkan gol. Namun, formasi dengan dua penyerang, satu pemain tengah dan satu pemain belakang ini memiliki kelemahan dalam segi pertahanan. Formasi yang kerap digunakan tim futsal Bercelona ini pun, kini menjadi formasi favorit yang digunakan tim – tim di dunia.
Setelah formasi digunakan adapun strategi yang harus dijalankan para pemain futsal agar formasi dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
  • Strategi Melebar
Strategi melebar sangat efektif digunakan pada formasi 2-0-2 atau square. Dengan formasi tersebut setiap pemain bisa melebar ke empat sudut lapangan. Keuntungan dengan digunakan dari formasi ini yakni para pemain dapat memainkan bola secara leluasa dengan memanfaatkan lebar lapangan, saat pemain depan sudah berada di daerah pertahanan lawan, pemain belakang dapat masuk membantu untuk melakukan penyerangan. Sementara itu, strategi ini memiliki kelemahan yaitu pada saat pemain lawan dapat memotong operan. Dengan begitu, pemain lawan akan lebih mudah melakukan serangan balik.
  • Strategi Total Football
Strategi ini pada mulanya digunakan pada sepakbola yang dicetuskan di Belanda pada era Johan Cruyff. Namun, strategi ini kemudian juga digunakan pada olahraga futsal. Dalam futsal Total Football digunakan untuk mencari gol dan melakukan penyerangan. Strategi ini biasanya dinamakanPower Play di mana penjaga gawang juga dapat berperan dalam melakukan penyerangan.
  • Strategi Tiki Taka
Strategi ini digunakan dengan teratur, kunci sukses strategi ini terletak dari pergerakan pemain serta operan yang akurat. Strategi ini kerap dilakukan untuk memancing permainan lawan untuk keluar dari pertahanan hingga untuk mengelabui atau mengacak – acak pertahanan lawan.
  • Strategi Negative Football
Strategi ini kerap digunakan dalam kondisi menang. 3-0-1 menjadi formasi yang sering digunakan dalam strategi ini. Meski strategi ini terlihat sangat membosankan tetapi dalam sebuah pertandingan sebuah tim berhak menggunakan strategi apa saja dalam mempertahankan skor.

Sejarah Terbentuknya TheJakmania

Sejarah Terbentuknya Jak Mania

Jakmania atau nama lengkapnya The Jakmania merupakan kelompok suporter dari kesebelasan sepakbola Persija Jakarta. Jakmania sudah berdiri sejak Ligina IV tepatnya pada tanggal 19 Desember 1997.  Ide berdirinya The Jakmania, pertama kali dicetus oleh manajer Persija waktu itu adalah Diza Rasyid Ali. Ide ini mendapat dukungan penuh dari Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Sutiyoso sendri menjabat sebagai pembina Persija Jakarta. Ia sangat menyukai sepak bola, kecintaannya pada sepakbola inilah, membuat ia ingin membangkitkan dan menghidupkan kembali sepakbola di Jakarta baik tim maupun pendukung atau supporter.

The Jakmania mempunyai markas atau sekretariat di Stadion Lebak Bulus. Di sinilah biasa digunakan para The Jakmania untuk melakukan kegiatan kumpul bersama guna membahas perkembangan The Jakmania serta laporan – laporan dari setiap bidang kepengurusan The Jakmania, tak lupa di markas inilah mereka melakukan pendaftaran atau registrasi anggota baru The Jakmania.
The Jakmania beruntung mempunyai Edi Supatmo yang pada waktu itu menjabat sebagai humas Persija Jakarta. Ia berhasil menciptakan lambang bagi The Jakmania yaitu sebuah tangan dengan jari berbentuk huruf J. Lambang tersebut masih dipertahankan dan selalu diperagakan hingga sekarang karena merupakan symbol jati diri Jakmania.



Anggota
Pada awal terbentuknya organisasi The Jakmania, anggotanya hanya berjumlah 100 orang, dengan pengurusnya sebanyak 40 orang. Berkat keahliannya dalam mengurus organisasi, para pengurus The Jakmania menemukan ide cemerlang untuk menambah anggota The Jakmania. Momentum itu tidak lain adalah saat Tim Merah Putih Indonesia berlaga jelang Piala Asia. Mereka membagikan formulir kepada penonton di luar Stadion Gelora Bung Karno. Berkat kegiatan ini, banyak orang mendaftar sebagai anggota The Jakmania dan sampai pendaftaran terakhir saat ini terdapat 30.000 anggota lebih yang menjadi The Jakmania. Makin banyaknya anggota membuat pengurus perlu membentuk kordinator wilayah, dan melihat data anggotanya yang ada saat ini maka terbentuklah 50 konwil ( kordinator wilayah).

Kepengurusan
Adalah Gugun Gondrong yang merupakan salah satu sosok yang paling ideal untuk memimpin The Jakmania. Dipilihnya Gugun Gondrong karena ia figur yang dikenal masyarakat banyak, walaupun Gugun Gondrong dari kalangan artis tetapi ia ingin disamakan dengan yang lainnya, tidak ada perbedaan diantara anggotanya, semuanya sama tidak ingin perlakukan khusus atau berlebihan diberikan kepadanya.


Seiring berjalannya waktu, kepengurusan Gugun Gondrong pun berakhir. Dan ia digantikan oleh Ir. T. Ferry Indrasjarief atau biasa disapa dengan Bung Ferry. Bung Ferry menjabat untuk periode 1999 – 2001. Keberhasilannya dalam mengolah organisasi ini menjadi lebih baik membuat ia terpilih dan dipercaya kembali untuk memimpin The Jakmania, untuk periode 2001 – 2003, 2003 – 2005.

Keberhasilannya memimpin The Jakmania selama 3 periode ini menuai banyak kesuksesan. Maklum saja, Ir. T. Ferry Indrasjarief atau Bung Ferry ini memang dibesarkan dalam kegiatan organisasi dan Bung Ferry ini pernah menjadi anggota supporter Commandos Pelita Jaya, The Jakmania
Setelah kepemimpinan Bung Ferry, The Jakmania mengadakan Pemilihan Umum Raya 2005, untuk memilih ketua umum baru The Jakmania periode 2005 – 2007. Akhirnya setelah melalui proses yang agak panjang, terpilihlah Hanandiyo  Ismayani atau biasa disapa dengan Bung Danang.

KESIMPULANNYA ADALAH Bahwa the jak/JakMania itu ada karna persija dan persija bisa ada sampai terkenal karna suporter nya yang loyalitas dan rela melakukan apa saja demi Persija.SalamJempolTelunjuk(SAJETE)
ultrasin-indonesia.blogspot.com/2013/01/sejarah-terbentuknya-jak-mania.html

Kamis, 20 Oktober 2016

Kebudayaan Bajawa(Upacara Adat Reba)

Nama : Legionardus trinitas
Universitas Gunadarma
Ahmad Nasher


Setiap daerah di Indonesia, tentu memiliki  kebudayaan yang beraneka ragam. Kebudayaan menunjukkan ciri khas dari suatu suku bangsa. Kebudayaan bukan hanya melulu suatu yang bernilai materi namun juga  menyimpan sesuatu nilai etis. Hal ini membawa kita pada suatu refleksi bahwa kebudayaan membantu manusia untuk menjadi lebih arif dalam menemukan makna hidup ini. Atau dengan kata lain kebudayaan mengarahkan manusia untuk semakin berkembang secara manusiawi guna mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Melalaui paper sederhana ini, penulis ingin mendalami dan menggali makna terdalam dari Upacara Adat Reba dalam Budaya Ngada.

   II. Situasi Umum Daerah Ngada
            Ngada merupakan salah satu Kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang beribukotakan Bajawa. Kabupaten Ngada terletak di Pulau Flores. Situasi geografis daerah ini didominasi oleh rangkaian pegunungan dan perbukitan. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Kabupaten  Ngada berbatasan langsung dengan Kabupaten Manggarai Timur di sebelah barat, sebelah timur dengan Kabupaten Ende, sebelah utara dengan Laut Sawu dan sebelah selatan dengan Laut Flores. Terkait dengan kepercayaan masyarakat di mana mayoritas penduduknya memeluk agama Katolik Roma. Terkait dengan adat istiadat, tentunya daerah ini memiliki banyak tradisi budaya yang terus dipertahankan sampai dengan saat ini. Tradisi budaya Ngada yang adalah potensi kekayaan daerah ini, yang masih terus dilestarikan dan dipertahankan sampai saat ini salah satunya yakni Upacara Adat Reba.

 III. Upacara Adat Reba
 Upacara Reba merupakan upacara adat di daerah Ngada yang diadakan setiap tahun baru, tepatnya di bulan Januari atau Februari. Upacara adat ini bertujuan untuk melakukan penghormatan dan ucapan  rasa terima kasih terhadap jasa para leluhur. Upacara ini juga bertujuan untuk mengevaluasi segala hal tentang kehidupan bermasyarakat pada tahun sebelumnya yang telah dijalani masyarakat Ngada[1]. Melalui upacara ini, keluarga dan masyarakat juga  meminta petunjuk kepada tokoh agama dan tokoh adat untuk dapat menjalani hidup lebih baik pada tahun baru yang akan datang. Ubi memang menjadi simbol utama dalam upacara adat reba. Hal itu tidak lepas dari tradisi pada masa nenek moyang yang menjadikan ubi sebagai makanan pokok.  Bagi warga Ngada, ubi dianggap  sebagai makanan atau sumber kehidupan yang tak pernah habis disediakan oleh bumi.  Karena itu, warga Ngada tidak akan pernah mengalami rawan pangan ataupun busung lapar. Dalam merayakan upacara adat reba, seluruh sanak keluarga datang berhimpun, termasuk yang berada di luar kota, bahkan di luar Nusa Tenggara Timur. Anggota keluarga  biasanya mulai berdatangan pada tanggal 1 januari sore. Mereka antara lain membawa buah tangan berupa beras, ubi, ayam atau juga babi.
Selama upacara reba berlangsung diiringi oleh tarian dari para penari yang mengenakan pakaian adat lengkap, selain itu  para penari menggenggam  pedang tajam (sau) dan tongkat warna-warni yang pada bagian ujungnya  dihiasi  dengan bulu kambing berwarna putih (Tuba). Sebagai pengiring tarian adalah gong dan gendang (laba go) serta alat musik gesek berdawai tunggal yang terbuat dari tempurung kelapa. Keistimewaan upacara adat reba ini biasanya dilakukan selama tiga sampai empat hari. Sebelum pelaksanaan upacara  tari-tarian dan nyanyian (O Uwi) diadakan misa  inkulturasi yang dipimpin seorang pater atau romo. Beberapa rangkaian upacara juga diiringi dengan koor nyanyian gereja dan menggunakan bahasa lokal Ngada. Upacara ini secara tidak langsung memadukan unsur adat dan agama.


IV. Tahap-tahap Upacara Adat Reba[2]

*  Reba Lanu
            Reba Lanu yakni sebagai pembuka seluruh rangkaian reba. Dan dilakukan pada tempat khusus yang terletak diluar kampung, yang disebut Lanu. Tahap ini bertujuan untuk menghormati leluhur masyarakat di kampung.
*  Dheke Reba
           Dheke reba dilaksanakan pada malam pertama reba. Pada kesempatan ini anggota-anggota suku datang ke rumah pokok untuk merayakan reba melalui makan malam bersama yang disebut Ka’ Maki Reba. Semua hal yang berhubungan dengan anggota suku  seperti  bere tere oka pale, tege tua manu dan hal lainnya didiskusikan.
*  Tarian Reba

       Tarian reba merupakan kegiatan menari masal sambil menyanyikan lagu reba yang   disebut Kelo Ghae dan O Uwi. Kegiatan ini dilaksanakan pada siang hari setelah malam Dheke Reba. Peserta tarian berpakaian adat lengkap.
*  Doya Uwi

  Doya Uwi adalah acara arakan ubi yang dilaksanakan di kampung.

*  Sui Uwi 

Sui Uwi merupakan upacara memotong ubi dalam rumah pokok masing-masing suku seraya mengkisahkan sejarah suku disamping kesan dan pesan kepada anak cucu dan leluhur. Acara ini sekaligus juga menutup seluruh rangkaian reba pada umumnya.

V. Makna Terdalam dari Upacara Adat Reba
Manusia adalah pelaku kebudayaan[3]. Dalam hal ini penulis tentu menyadari bahwa setiap adat kebudayaaan yang diciptakan manusia dan yang masih terus dilestarikan sampai saat ini tentu juga membawa manusia pada suatu perkembangan yang lebih manusiawi. Melalui kegiatan kebudayaan, sesuatu  yang sebelumnya hanya merupakan kemungkinan belaka, diwujudkan dan diciptakan baru[4] Namun di lain pihak, adat budaya juga membawa manusia pada keterikatan dengan aturan-aturan adat yang telah dibakukan yang membuat manusia merasa tidak bebas.   Telah kita lihat bersama bahwa Reba bagi orang Ngada merupakan suatu upacara adat guna menghormati para leluhur dan Sang Pencipta yang telah memberikan kehidupan dan keberhasilan selama setahun.
             Disatu sisi, orang Ngada meyakini bahwa para leluhur yang telah meninggal mempunyai semacam kuasa untuk mempengaruhi kehidupan anggota suku dan keluarga. Kuasa dari para leluhur akan tampak apabila mereka diabaikan dan tak diperhatikan. Mereka dapat mendatangkan malapetaka seperti kematian yang mendadak dalam suatu suku, penyakit, kegagalan panen dan hal- hal lain yang tak membawa manusia pada kebahagiaan hidup. Dalam tataran ini memang harus diakui bahwa terdapat unsur mitos dalam upacara ini. Mitos dalam hubungan dengan leluhur yang dipercaya dapat mendatangkan perlindungan dan juga malapetaka. Perlindungan yang dimaksud disini yakni terkait dengan seluruh usaha yang dilakukan setiap suku dalam setahun, akan berdampak baik dan berhasil apabila mereka tak menyingkirkan leluhur dalam kehidupan mereka. Sampai pada titik ini kita dapat melihat bahwa mitos dari upacara untuk menghormati para leluhur ini, dapat memberi jaminan pada masa kini[5]. Terlepas dari mitos, bahwa kedekatan masyarakat Ngada dalam bentuk penghormatan kepada para leluhur mereka, mengarah pada apa yang juga diajarkan dalam agama Kristen bahwa mereka yang telah mendahului kita dapat membantu kita  dengan doa dalam perjalanan hidup kita dimuka bumi ini. Penghormatan kepada para leluhur dalam upacara ini, tidak berarti bahwa masyarakat Ngada mengesampingkan atau menomorduakan peran Allah sebagai pencipta. Namun perlu dilihat disini bahwa bagi masyarakat Ngada melalui para leluhur mereka dapat mencapai sesuatu yang melampaui segala-galanya. Sesuatu itu yang adalah sebab pertama dan  utama dari segala sesuatu yakni Allah sendiri.
Disisi lain makna reba perlu dilihat sebagai suatu nilai yang perlu dipertahankan dan dilestarikan. Pasalnya, dizaman era modernisasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, warga Ngada masih menjunjung tinggi nilai budaya dan adat istiadat secara turun temurun. Warga Ngada menyadari bahwa penting menghormati leluhur yang telah memberikan kehidupan dan berkat. Ini merupakan salah satu nilai mendalam dari upacara adat reba. Reba yang dirayakan setiap tahun dan berlangsung turun temurun bukannya tanpa makna. Reba selain sebagai moment  untuk mengenang dan menghormati para leluhur secara istimewa, juga menjadi titik permenungan akan nilai luhur kehidupan yang diwariskan para pendahulu. Para pendahulu telah menanamkan nilai kedamaian, persatuan, gotong royong, tekun bekerja tanpa kenal lelah, saling melayani, menghindari rasa dengki dan egois yang harus diaplikasikan dalam kehidupan. Secara tak langsung makna terdalam dari reba tersimpan pemikiran etika dan fungsional. Unsur etika dan fungsional ini terkait dengan suatu produk yang dihasilkan dari upacara ini dalam tahap-tahap upacara ini, yang dilihat sebagai  dasar pijak dalam menata dan membangun kehidupan bersama, baik dalam membangun kehidupan pribadi, keluarga, lingkungan atau membangun kehidupan bermasyarakat. Selain itu, dengan adanya reba orang bisa menimba kekuatan dari menghindari adanya pengaruh budaya yang mencederai kehidupan bersama. Reba juga sebagai sarana promosi nilai budaya yang perlu dijadikan sebagai potensi pariwisata. Menurut penulis upacara adat reba mengandung unsur perdamaian, persaudaraan dan kasih dengan sesama. Banyak generasi hp, internet dan televisi yang sudah tidak mengetahui makna reba. Reba adalah suatu awal dari kehendak leluhur yang mewajibkan penerus guna melestarikan dan mengikuti ketentuan adat, peraturan dan hukum guna menuntun seseorang meraih kebahagiaan dalam kehidupan.


VI. Nilai Negatif  dari  Upacara Adat Reba
Selain  makna terdalam dari upacara adat reba yang telah dikemukakan  diatas, penulis  sebagai orang asli Ngada juga  melihat nilai negatif  yang terkandung dalam upacara adat reba.  Dalam upacara adat reba biasanya berlangsung selama tiga sampai empat hari. Dan  tentunya bukan sedikit anggaran yang disiapkan oleh setiap suku dalam kampung tersebut. Biasanya untuk melancarkan upacara ini setiap suku dalam kampung adat diwajibkan untuk menyiapkan babi, beras, ayam dan  materi yang lainnya. Dalam suku akan diadakan pembagian dan tentunya setiap kepala keluarga yang masuk dalam suku tersebut dibebankan pengumpulan-pengumpulan materi yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan bersama. Tak dapat dibayangkan bahwa hal tersebut dapat menjadi beban, apalagi upacara ini dilakukan pada setiap tahun. Dalam hal ini penulis melihat bahwa ada unsur “ketidakbebasan” dari setiap kepala keluarga dari setiap suku. Mau tak mau mereka harus taat dengan semua hal yang telah ditetapkan tersebut. Bagi mereka yang memiliki penghasilan yang cukup hal ini tak menjadi persoalan. Tetapi menjadi suatu persoalan dan memberatkan bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Dengan segala cara mereka akan mengusahakan  apa yang telah diwajibkan oleh kepala suku maka mereka harus berusaha keras untuk memperoleh apa yang diminta misalnya dengan cara berhutang pada yang lain. Hal lain yang dilihat disini bahwa upacara adat reba secara tak langsung memadukan unsur agama dan budaya dalam hal ini terkait dengan misa inkulturasi.  Memang harus diakui pula bahwa kebudayaan juga dapat digunakan sebagai sarana pewartaan. Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa “proses integrasi Gereja ke dalam budaya tertentu adalah suatu proses yang panjang. Hal ini bukan hanya masalah adaptasi eksternal, karena inkulturasi adalah suatu transformasi yang dalam dari nilai-nilai budaya yang otentik melalui integrasi nilai-nilai tersebut ke dalam kristianitas, dan juga mengintegrasikan kristianitas ke dalam berbagai macam budaya manusia.” (Redemptoris Missio, Ch. V).
Maka dalam hubungan dengan misa inkuturasi upacara adat reba, tentunya diperlukan peran para tokoh agama untuk menjelaskan nilai-nilai iman yang dapat dikonfrontasikan dengan nilai budaya, sehingga tidak terjadi pencampuran paham-paham budaya ke dalam agama yang  dapat menimbulkan kehilangan makna asli dari inkulturasi budaya itu sendiri dalam agama. Dengan demikian masyarakat Ngada tentunya dapat dibantu untuk mengerti secara lebih baik hubungan iman dan budaya dihadapan Tuhan. Dengan kata lain seperti yang diungkapkan oleh Almarhum Paus Yohanes Paulus 11 bahwa didalam proses inkulturasi integritas dari iman Katolik tidak boleh dikorbankan. Gereja memang harus mampu memberikan nilai-nilai kekristenan, dan pada saat yang bersamaan mengambil nilai-nilai yang baik dari budaya yang ada dan memperbaharuinya dari dalam.
VII.  Penutup
Upacara Adat Reba merupakan warisan leluhur yang  harus tetap dijaga dan dilestarikan  oleh masyarakat Ngada. Dalam upacara adat ini kita dapat belajar bahwa nilai-nilai budaya dapat membawa manusia untuk semakin bertumbuh dan berkembang secara lebih manusiawi. Reba dapat menjadi sarana persatuan dan persaudaraan antar daerah yang juga menjadi dasar untuk membangun kehidupan bermasyarakat dan berbangsa secara lebih baik. Memang ada nilai negatif yang  dapat kita temukan dalam berbagai macam budaya termasuk dalam upacara adat reba. Namun pada intinya penulis melihat bahwa upacara adat reba membantu masyarakat Ngada agar tidak hanyut dalam perkembangan zaman namun perlu menyadari bahwa  apa yang telah diwariskan oleh para leluhur tersimpan sejuta filosofi hidup  yang mendalam    
           
 KESIMPULANNYA ADALAH  Bahwa setiap daerah mempunyai kebuadayaan masing masing maka itulah Negara Indonesia dikenal oleh seluruh dunia dengan berbagai macam macam kebudayaan.dan upacara reba sendiri terdapat dari kebudayaan flores atau yang lebih lagi adalah kebudayaan Bajawa Ngada yang sampe sekarang masih diwariskan turun temurun,dan acara Reba ini pula dikenal dengan sarana pemersatu masyarakat Ngada yang ada di kota seperti Jakarta agar lebih mengenal satu dengan yang lain maka itu acara adat REBA ini disebut adalah acara adat pemersatu.
dan acara reba ini  juga adalah salah satu acara adat agar masyaerakat Ngada tidak hanyut dalam perkembangan jaman dan tetap ingat dengan apa yang diwariskan oleh nenek moyang nya 



Saran saya sebagai penulis dan sebagai anak Ngada itu sendiri jangan lah pernah lupa dari mana kamu berasal karna jika anda lupa dari mana kalian berasal maka akan ada ancaman dan bencana yang akan menimpa kalian.Sekian Dan TerimaKasih

DAFTAR PUSTAKA